Pages

Thursday, April 19, 2012

Ibu Kartini

Bagaimana kalian merayakan hari Kartini?

Saya sedang terjebak di dalam kemelut antara semangat ingin memperingati perjuangan Ibu Kartini, dan bentuk-bentuk peringatan yang tidak sejalan dengan semangatnya.

Saya seorang perempuan yang teramat bersyukur dan berhutang budi banyak kepada Ibu Kartini. Mungkin tanpanya, ibu saya tidak bekerja sebagai pemimpin sekarang, mungkin saya dan adik perempuan saya tidak perlu sekolah, hanya kakak dan adik saya yang lelaki saja yang sekolah. Mungkin saya tidak diberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan hingga S2, mungkin adik saya tidak perlu belajar semalam suntuk demi untuk mendapatkan profesi sebagai dokter gigi. Mungkin saya tidak akan pernah bekerja di kantor. Mungkin saya akan dinikahkan pada umur 15 tahun kepada seorang lelaki pilihan orang tua yang tidak saya cintai. Mungkin saya tidak akan pernah diberikan kesempatan untuk bermimpi. 

Jaman ketika saya masih kecil, dan sampai saat ini juga, anak-anak TK dan SD selalu merayakannya dengan menggunakan pakaian daerah, dan segala turunan kegiatannya seperti fashion show, lomba kostum terbaik, dan lain-lain. Menurut saya, itu cara terbaik untuk memperkenalkan kepada anak-anak siapa sosok Ibu Kartini dan menjelaskan sedikit perjuangannya. Oleh karena mereka masih terlalu kecil, akan sulit bagi mereka untuk mencerna makna perjuangan Ibu Kartini. Jadilah pakaian daerah menjadi solusi mudah untuk merayakannya.

Tapi bagaimana dengan para orang dewasa? Ternyata masih ada yang merayakannya dengan cara itu, yang mana bagi saya, merupakan suatu fakta yang menyedihkan.

Ibu Kartini berjuang demi perempuan, dan mengapa kini saya dipaksa untuk "merayakan" perjuangannya dengan menggunakan kebaya dan jeans ke kantor untuk kemudian diikutsertakan ke dalam fashion show? Ya, kebaya encim dan jeans. Ini sungguh jauh dari esensi perjuangan Ibu Kartini. Ini hanya sekadar "pelepasan dari tanggung jawab sosial untuk ikut merayakan hari Kartini".

Lucu. Padahal kantor ini sebagian besar karyawannya adalah perempuan. Tapi mengapa yang terjadi malah para perempuan itu memudarkan makna perjuangan Ibu Kartini, ya? Belum lagi diperparah dengan komentar seorang bapak setelah mendengarkan penjelasan saya mengapa saya tidak memakai kebaya encim hari ini ke kantor. Ia, dengan nada mencela, bilang, "kalau gitu kita orasi saja!". Lucu. Lucu karena faktanya, dia tidak mengerti perjuangan Ibu Kartini, apalagi menghargai perempuan pada umumnya.

Saya pikir saya punya alasan yang kuat dan pendirian yang teguh untuk urusan ini. Karena pada dasarnya saya tidak suka perayaan remeh-temeh yang jauh dari makna perayaannya itu sendiri. Jadi, silakan Anda mengekspresikan perjuangan Ibu Kartini dengan kebaya encim dan, ehm.. jeans. Cara saya mengekspresikannya tidak bisa semudah dan sesepele itu. Saya butuh perjuangan seumur hidup saya untuk bisa menjadi perempuan yang mandiri dengan tidak melupakan hakekat saya sebagai seorang perempuan.

Kalau Ibu Kartini bisa baca blog ini, saya mau bilang, "terima kasih, Ibu. Tanpamu, tiada terang setelah gelap. Biar kami jaga terus terangmu dengan cara-cara yang luhur." :)

Wednesday, April 11, 2012

Quake, pray, quick!

An earthquake with a preliminary magnitude of 8.9 hit waters off westernmost Aceh province.

And when I write this, a tsunami warning is still in effect for Sumatra and more than 25 countries, including: Indonesia, Malaysia, Singapore and Thailand.

I'm feeling helpless. I always find it hard to deal with life-threatening events, and pray is the only way.