Insya Allah besok saya melahirkan, caesar, tepat 38 minggu. Saya minta doanya ya... dan mudah-mudahan kalian tidak meragukan ke-ibu-an saya hanya karena saya...
Melahirkan via caesar. Perlu alasan kenapa? Minus mata saya yang keduanya di atas 9, silindris di atas 2, dan pada minggu ke 35 ternyata si bocah terlilit tali pusar di lehernya. Jadi, apakah saya tidak menjadi ibu dengan melahirkan secara caesar? Jangan bilang begitu ya.. Kalau kalian pernah hamil, pasti tau rasanya menghabiskan 9 bulan lebih dengan segala perubahan kondisi fisik dan mental yang melelahkan, menyakitkan, sekaligus menyenangkan. Dan jadi ibu itu kan tugas seumur hidup ya, bukan hanya ditentukan oleh bagaimana cara melahirkannya. Meski masih banyak kontroversi di sana sini, bahkan yang melibatkan para obgyn dan ophtalmologis termahsyur sekalipun, bahwa minus mata tinggi maupun retina yang tipis tidak mempengaruhi proses persalinan normal, tetapi saya percaya obgyn saya, dan saya percaya insting saya. Saya tidak ingin gegabah, memilih berjuang untuk persalinan normal tetapi membawa resiko seumur hidup tidak dapat melihat dengan jelas di masa depan. Percaya deh, sebagai orang yang udah pake kacamata sejak kelas 3 SD, saya tidak ingin memperburuk kondisi pengelihatan mata saya. Maka, dengan segala resiko yang melekat pada setiap operasi caesar, dengan saran dari obgyn saya, saya secara sadar, tanpa paksa, memilih jalan operasi caesar untuk melahirkan. Terlebih lagi ternyata pada minggu ke 35 (dan sampai saat tulisan ini diketik), tali pusar masih melilit di leher anak saya, semakin bulatlah tekad saya untuk operasi. Saya yakin, saya tetaplah seorang ibu, dimulai sejak janin ini masih sebesar biji kwaci :)
Memberikan ASI tidak eksklusif, atau harus memberikan susu formula di awal kehidupan si bayi karena, misalnya, ASI saya benar-benar tidak cukup. Jangan pernah mengecap saya tidak peduli kepada bayi saya. Memang, Tuhan memuliakan para ibu yang dapat memberikan ASInya hingga 2 tahun, tetapi ASI itu adalah bagian dari rizki-Nya. Banyak atau sedikit, harus disyukuri kan? Banyak atau sedikit, harus dicukupi juga, kan? Jadi, berhentilah menceramahi saya dengan dalil-dalil ketuhanan. Saya paham kok, paham sekali. Tetapi anak saya butuh makan dan Tuhan menciptakan sapi beserta susunya dan Tuhan menciptakan manusia-manusia brilian yang telah menciptakan susu formula. Jadi, jika saya terpaksa menyerah kepada keajaiban susu formula, anak saya tetaplah anak saya, anak manusia, bukan anak sapi seperti yang sering diucapkan oleh mereka yang tidak bisa membedakan antara manusia dan sapi. Jangan pernah meragukan ketahanan fisik serta kecerdasan anak saya hanya karena keputusan saya untuk memberinya susu formula. Jangan pernah meragukan ikatan batin antara saya dan anak saya hanya karena saya tidak memberikan ASI secara langsung dari payudara saya (karena saya memberinya ASI perah melalui botol susu). Itu adalah tugas saya dalam mendidiknya dan menjaga ikatan batin kami, dengan keputusan serta kuasa Tuhan, bukan keputusan kalian.
Sesekali memberikan makanan instan untuk anak saya. Ketika saatnya dia mulai makan makanan padat, saya akan sangat berusaha memasak sendiri makanannya. Berusaha mencukupi asupan gizinya sesuai petunjuk para ahli, memasaknya dengan higienis dan penuh cinta. Tetapi mungkin di saat-saat tertentu, keadaan tidak mendukung, sehingga saya akan sangat mengandalkan makanan instan, sesekali. Jangan melabelkan saya sebagai ibu yang tidak peduli kesehatan anaknya ya. Bubur instan sesekali tidak akan membunuh siapapun kok, termasuk mereka yang bermulut tajam, yang sangat-sangat anti makanan instan. Jadi, diamlah, dan biarkan anak saya makan.
Suatu saat akan kembali bekerja. Percayalah, dengan bekerja saya bukan sekadar mementingkan karir, mendapatkan pemasukan lebih sehingga bisa menabung lebih banyak pula, tetapi saya juga memikirkan kondisi psikologis saya. Selama hamil, saya sama sekali tidak bekerja dan itu benar-benar membuat saya gila. Kalau saya 'gila', marah-marah melulu, anak saya pasti tidak bahagia. Semoga mereka di luar sana yang kerap meremehkan peran ganda seorang ibu dan wanita karir, lebih baik diamlah. Saya akan tetap bekerja dan tetap mencintai anak dan keluarga saya lebih dari apapun, dan itu sama sekali bukan urusan siapapun. Peduli amat sih?
Semoga saya dijauhkan dari orang-orang
judgemental yang bermulut jahat, semoga jikalau saya harus berhadapan dengan mereka, saya bisa sabar sambil tersenyum.
Sungguh deh, ketakutan akan di-
judge semacam itu ternyata sama besarnya dengan ketakutan akan menjalankan operasi besok.
Sekali lagi, mohon doanya yaaa :)